Senin, Januari 12, 2009

menggugat klaim zionis atas al-aqsha

Zionis Israel secara sistematis terus berupaya untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsa dengan dalih membangun kembali kuil sinagog Temple of Solomon (Haikal Sulaiman) yang mereka klaim terletak di bawah masjid tersebut. Dr. Marwan Saeed Saleh, guru besar matematika di Universitas Zayed, Dubai, menyebutkan, sejak 1967 kaum Zionis Israel telah bertekad membangun sinagog, apa pun dampaknya terhadap bangunan Masjid Al-Aqsa. Bahkan kalau perlu masjid itu akan dirubuhkan sama sekali. Sementara ini mereka telah membangun Tembok Ratapan (Wailing Wall), persis di dinding barat Masjid Al-Aqsa. Mereka juga melakukan penggalian-penggalian di bawah Masjid Al-Aqsha dan Masjid Qubah Al-Shakhra. Penggalian itu sudah sampai pada jalan terowongan menuju pintu Al-Maghariba,

Untuk mewujudkan ambisi klaimnya atas Masjid Al-Aqsha, Zionis Israel secara terprogram melakukan kampanye penyesatan dengan menonjolkan foto-foto Masjid Qubah Al-Shakhra untuk mengalihkan perhatian dari Masjid Al-Aqsa. Harapannya, masyarakat dunia akan menganggap Masjid Qubah Al-Shakhra dengan warna keemasan itu sebagai Masjid Al-Aqsa. Sehingga mereka merasa akan lebih leluasa untuk melenyapkan Masjid Al-Aqsa yang sesungguhnya dari muka bumi.

Haikal Sulaiman?

Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI), Akmaludin Ihsan Oglo, memperingatkan Israel untuk tidak sekali-kali melakukan tindakan merusak lokasi Masjid Al-Aqsha dengan alasan untuk membangun sinagog yang mereka sebut dengan Haikal Sulaiman. Menurut Sekjen OKI, apa yang dilakukan Yahudi Zionis itu adalah langkah permusuhan yang nyata terhadap tempat suci dan telah menyentuh sensitivitas akidah umat Islam di seluruh dunia. Apalagi mengatasnamakan Nabi Sulaiman untuk membangun kuil atau sinagog Yahudi.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan, Masjid Al-Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim AS, yakni Nabi Ya`qub bin Ishaq bin Ibrahim. Keturunan berikutnya, Nabi Daud AS membangun ulang masjid itu. Lalu, diperbaharui oleh puteranya, Nabi Sulaiman AS (tahun 960 SM). Mereka para nabi membangun kembali Masjid Al-Aqsha untuk tempat mendirikan shalat di dalamnya, bukan sebagai kuil sinagog seperti yang diklaim Zionis.

Nabi Muhammad SAW sebagai khatamun nabiy menelusuri jejak Masjid Al-Aqsa, yang pernah dibangun para nabi sebelumnya, lewat perjalanan isra mi’raj dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Masjid Al-Aqsa menempun jarak lebih kurang 1.500 km dalam satu malam. Di Masjid Al-Aqsha inilah atas mukjizat Allah, Nabi Muhammad SAW mengimami para nabi sebelumnya.

Waqaf Muslimin

Khalifah Umar bin Khattab membebaskan kembali Masjid Al-Aqsha (tahun 638 M.) seusai Perang Yarmuk dari penjajahan orang di luar Islam yang memang bukan haknya. Umar membangunnya kembali dengan kayu di atas pondasi aslinya. Umar mewaqafkannya untuk umat Islam, agar jangan sampai diperjualbelikan dan jatuh ke tangan orang di luar Islam. Kemudian bangunan fisik Al-Aqsha disempurnakan dengan batu permanen pada jaman Mulkan Al-Walid bin Abdul Malak (705 M.) dengan bentuk yang sekarang ini kita lihat.


Di bawah kepemimpinan Islam, Palestina berada dalam perdamaian dan ketertiban, penuh toleransi antarpenduduknya, hidup bersama dalam damai dan ketertiban. Kebijaksanaan dan kebaikan ditunjukan Umar kepada penduduk daerah ini, tanpa membeda-bedakan agama mereka menandai sebuah peradaban yang indah.

Generasi pewaris waqaf berikutnya adalah Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi tatkala memasuki kawasan Al-Aqsha (tahun 1187 M.) dan membebaskannya dari penjajahan keduakalinya. Dengan pembebasan tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin untuk meninggalkan Palestina. Sedangkan umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.

Karen Armstrong, Penulis Islam A Short Story dan Jerusalem, A History of God, menggambarkan pembebasan kedua kalinya itu. Kata Amstrong, "Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai pembebas dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan memimpin kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak dendam untuk membalas pembantaian sebelumnya."

Pada masa Sultan 'Abdul Hamid II (tahun 1876-1911 M.) Dinasti 'Utsmaniyah, Zionis memulai rencana jahatnya hendak merebut tanah Palestina. Ditandai dengan Konferensi Zionis Pertama di Basel (1897) dengan agenda utama pendirian negara israel Yahudi di Propinsi Palestina, yang waktu itu masih di bawah kepemimpinan Utsmaniyah.

Abdul Hamid II walaupun dalam kondisi sakit, krisis ekonomi, dan timbulnya benih-benih perpecahan internal umat Islam, menolak mentah-mentah bujukan Dr. Theodore Hertzl, bapak Zionis, yang hendak membeli tanah waqaf Palestina dengan harga setinggi-tingginya. Abdul Hamid II berkata, "Saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci Palestina ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah waqaf milik umat (Islam). Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka."

Menggugat Klaim

Pakar sejarah Zionis Maer bin Dov menyebutkan, penggalian situs yang terjadi saat ini di Maghariba Al-Aqsha adalah ilegal dan lokasi itu tidak cocok untuk dilakukan penggalian situs. Soal klaim bahwa di lokasi Masjid Al-Aqsha terdapat situs bersejarah peninggalan Yahudi, itupun sebenarnya mitos yang sudah dibatalkan oleh penelitian sejarah Israel sendiri.

Sebuah lembaga penelitian modern, Jerussalem Center milik Israel, pernah melakukan penelitian detail di sekitar Tembok Al-Buraq dekat dengan pintu Maghariba. Hasilnya, mereka menegaskan bahwa seluruh wilayah Masjid Al-Aqsha termasuk yang disebut Tembok Ratapan atau Tembok Al-Buraq adalah situs sejarah Islam saja, tak ada kaitannya dengan sejarah Yahudi. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Samuel Berigo, doktor arkeolog Israel.


Tahun 1930, sejumlah utusan Islam juga pernah membentuk tim segitiga untuk membahas lokasi Tembok Al-Buraq. Hasil kajian sejarah mereka menyebutkan, “Hanya sejarah Islam dan kaum Muslimin saja yang seharusnya memiliki lokasi Tembok Gharbi yang juga dikenal dengan Tembok Menangis. Itu karena lokasi tembok itu merupakan bagian dari wilayah Al-Haram yang juga merupakan peninggalan sejarah Islam". Rekomendasi tim segitiga itu mendapat apresiasi dari lembaga internasional, karena hasil penelitiannya dianggap sesuai dengan standar ilmiah sejarah, netral dan objektif. Tapi ambisi serakah penjajah Zionis tidak pernah menggubris masalah itu.

Maka menjadi tampak jelas bahwa alasan pokok membangun sinagog dengan berusaha membongkar Masjid Al-Aqsa, bukanlah bermotivasi agama yang bersih, dalih sejarah, atau hendak memuliakan Nabi Sulaiman mentauhidkan Allah dan menebar kedamaian. Akan tetapi sebenarnya karena Zionis Israel menganggap bahwa Masjid Al-Aqsa merupakan lambang kepemimpinan khilafah, simbol solidaritas umat, motivator pembebasan, dan inspirator perjuangan menentang kezaliman bangsa penjajah dan penjarah. Hal ini menjadi penghalang utama ambisi membangun Zionis Raya yang mereka cita-citakan.

Sebagai bentuk solidaritas sesama umat muslim dan sesama manusia yang punya hati nurani, akal budi, dan nilai-nilai relegius. Sudah selayaknya kita ikut memikirkan dan membantu bagaimana Masjid Al-Aqsha dapat dikembalikan pada posisi aslinya kepada kaum muslimin sebagai pemiliknya. Menepis klaim Zionis terhadapnya.

sumber : aqsha working group

1 komentar:

iam mengatakan...

Mesir dan Arab Saudi takut bantu Palestina gara2 ndoro ma Amerika. Malu2in ngaku Islam tapi kalah sama Bolivia..