Kamis, November 04, 2010

MENYIANGI TAMAN SPIRITUAL KITA

Kang Danu datang tergopoh gopoh kerumah kami. Untung saja suami saya belum berangkat kerja. Tidak biasanya ia datang sepagi itu, kecuali ada suatu masalah yang akan dibicarakan. Wajahnya terasa berat dan dia tidak segera bicara. Ketika suami saya sampaikan candaan, tumben datang pagi – pagi lalu suami saya Tanya maksud kedatangannya, ia hanya diam dan mengalihkan pertanyaan.

Sampai akhirnya , ketika wajahnya mulai cerah, kang danu mulai mengatakan maksudnya. Tapi itupun belum jelas.

“Istri saya, mas. Saya bingung.”
“ada apa kang ?”
“kami bertengkar lagi,” katanya menjelaskan . lalu kang danu menambahkan,” itulah sebabnya, tadi malam saya tidak berangkat ngaji kesini.”

Suami saya hanya mengangguk, mencoba memahami arah pembicaraanya. Kang danu terus bercerita. Dan dalam situasi seperti itu, suami saya harus mampu memerankan diri sebagai pendengar yang santun. Kang danu mengisahkan bahwa saat tertentu dia dan istrinya dapat bersikap sangat romantis , maklum manten anyar. Pikir saya

Tapi saat yang lain, ia dan istri akan berubah sensitive, mudah tersinggung, meletup dan akhirnya pecahlah kemarahan mereka. Kalau sudah seperti itu, mereka tidak lagi memiliki pertimbangan jernih. Padahal , usia pernikahan mereka baru menginjak bulan ketiga; saat saat mereka harus menikmatinya. Pemicunya, tutur kang danu sangat sepele. Kadang soal cucian, makanan, antar jemput, meludah dan sebagainya.

Kami kenal kang danu sudah lama. Kami pernah satu aktivitas dalam lembaga dakwah dan ketakmiran masjid yang sama. Ia tipe penurut dan pekerja yang baik. Entahlah, semenjak menikah ia berubah. Persoalan-persoalan kecil menjadi masalah besar bagi keluarganya.

Kita mungkin pernah mengalami hal yang sama dialami kang danu. Problem kehidupan keluarga yang sebenarnya sangat sepele mendadak kita hadapi tanpa daya dan kekuatan. Kita merasa lemah dan menganggapnya sebagai persoalan besar. Pertimbangan akal kita menjadi tumpul dan daya baca emosi kita terhadap persoalan menjadi rabun.

Masalah yang kita hadapi tidak terdefinisi dengan jelas. Kita panik. Dan dalam situasi demikian, cara yang paling nyaman untuk ditempuh adalah melakukan blaming partner, meyalahkan pasangan kita. Diksi atau pilihan kata kita kurang menyentuh dan lebih dominant sebagai luapan emosi yang tentu sangat menyakitkan pasangan kita. Kita merasa akumulasi masalah yang dihadapi menjadi belukar yang runyam, pada saat taman spiritualitas kita kering dan tidak pernah disirami.

Pemicu luarnya bisa banyak hal, tetapi penyebab utamanya hanya satu : taman spiritualitas kita lebih banyak ditumbuhi belukar, yang merusak ketajaman mata batin kita untuk menelisik masalah hidup kita. Keringnya taman spiritualitas dalam diri kita bisa disebabkan oleh menurunnya semangat ibadah kita, akumulasi kekhilafan dan dosa kita, kemalasan kita untuk berbuat kebaikan, timbunan masalah yang menciptakan kepanikan dan sebagainya.

Kata orang bukan besarnya masalah yang merisaukan kita tetapi bagaimana jiwa kita merespon setiap masalah yang mendera. Kemampuan diri merespon setiap masalah berbanding lurus dengan kualitas spiritual kita. Kualitas spiritual kita sesungguhnya menandai kedekatan seorang hamba dengan Rabb-Nya. Dan pengaruh apa yang lebih dekat daripada kedekatan. Kedekatan itulah yang mewarnai kita untuk mendekati setiap masalah dalam perspektif Ilahiyah. Faidza faraghta fanshab’ sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS.Al-Insyirah ;5)

Oleh karena itu, sebelum melakukan blaming partner (menyalahkan istri kalian), hendaknya telah ada evaluasi yang mengamati secara jeli apakah taman spiritualitas kita tumbuh subur ataukah sedang dirimbuni belukar. Kita perlu sering mengunjunginya. Keimanan kita memang fluktuatif; dan sifat yang harus kita kenali sebelum kita memutuskan sesuatu yang (akan) diiringi parade penyesalan.

Kekuatan imanlah yang menyebabkan seorang muslim jauh lebih tenang ketika menghadapi berjubel masalah. Sungguh menggagumkan kekuatan iman yang terjaga dengan baik. Sungguh mempersona taman spiritualitas seorang muslim yang selalu disiraminya dengan ketundukan dan kepatuhan Rabbaniyah. Sungguh menyejukkan citra keluarga muslim yang taman spiritualitasnya subur diatas tanah yang gembur.

Ketika Syeikh Mustafa Masyhur dijebloskan kedalam penjara, bersamanya seorang pemuda yang diliputi kecemasan. Mereka memasuki lorong lorong gelap, tempat sejumlah aktivis muslim disiksa dan di interogasi. Saat itu, sang pemuda berbisik kepada Syeikh Mustafa Masyhur muda.

“Syeikh, mereka akan membawa kita jauh dari pengamatan manusia, lalu kita disiksanya.”

“wahai ananda, mereka boleh menjauhkan kita dari manusia, tapi yakinlah bahwa mereka akan kesulitan untuk menjauhkan kita dari Allah ta’ala.” Jawab Mustafa Masyhur dengan penuh keyakinan.

Lihatlah ! situasinya sama, tapi penyikapannya berbeda. Demikian pula masalah dalam keluarga kita.

Wallahua'lam, semoga Allah mengampuni saya jika karena pengetahuan saya yang kurang luas sehingga saya menulis, berbuat dan berbicara salah.

***********************

Bandung, in memoriam 1 tahun yang lalu

Untuk Almh. suamiku yang diuji Allah bertubi tubi
Jazaakallaahu khairan ya Habiballah…..
Kini istrimu ini tahu bahwa kau begitu dicintai-Nya,
Kini istrimu mengerti bahwa engkau telah dimuliakan-Nya
Musibah musibah itu menggugurkan dosa,
Menambah derajat tinggi disisi-Nya
Maka …
Walaupun Allah telah memisahkan raga kita
Tetaplah ajari istrimu ini tuk mengenyam manisnya kesabaran,
Indahnya qona’ah & nikmatnya syukur
Ajarilah istrimu ini merasakan sejuknya ibadah &
Mulianya ketaatan.

Tidak ada komentar: