DARI SEKIAN LELAKI yang berbahagia dengan pernikahan, mungkin nama Syuraih Al-Qadhi dapat kita masukkan sebagai salah satunya. Wajah lelaki itu merekahkan senyum ketika salah seorang sahabatnya , Sya’bi bertanya tentang kehidupan rumah tangganya.
Sejenak ia menerawang. Ia mencoba mengumpulkan potongan – potongan memori tentang kehidupan keluarganya. Sambil tersenyum Syuraih bertutur :” sejak dua puluh tahun yang lalu,” katanya,” aku tak pernah melihat istriku berbuat sesuatu yang membuatku marah. Mulai malam pertama yang aku lihat padanya hanyalah keindahan dan kecantikan belaka. Dan, itu berlangsung sampai sekarang. Dua puluh tahun !”
Syuraih kembali menuturkan bahwa pada malam pertama, ia berniat melaksanakan dua raka’at sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Dengan diterangi sebuah lampu yang redup, Syuraih hanyut dalam kekhusyukan ibadah. Namun, betapa terkejutnya Syuraih ketika menoleh mengucapkan salam, dibelakangnya duduk seorang wanita. Dengan cahaya lampu yang remang remang itu, akhirnya syuraih mengenali kalau wanita itu adalah istrinya. Ternyata sang istri turut menjalankan shalat di belakangnya. Wanita itu mengulurkan tangannya. Senyumnya yang indah mengelegakan jiwa syuraih. Senyum itu tidak pernah pudar meski telah dua puluh tahun.
“Selamat datang, wahai abu Umayyah,” sapa sang istri.” Alhamdulillah , aku memuji dan memohon pertolongan-Nya. Semoga Shalawat serta salam tetap terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya,” wanita itu menghela nafas sejenak namun, pendar senyum itu tiada pudar. Dan, kembali melanjutkan tuturnya.
“Sungguh aku adalah perempuan asing bagimu. Aku sama sekali tidak tahu akhlakmu. Terangkanlah kepadaku apa2 yang kau senangi dan yang tidak kau senangi, apa yang kau senangi akan aku usahakan penuhi, dan yang tidak kau senangi aku akan berusaha menghindarinya. Aku yakin diantara kaummu pasti ada orang yang akan menikahkan wanitanya denganmu , begitupula dikaumku, ada laki laki yang sekufu denganku. Akan tetapi, apa yang telah di tetapkan Allah harus dilaksanakan.
“nah, aku telah menjadi milikmu. Lakukanlah seperti yang telah Diperintahkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Aku mengucapkan ini dengan mohon ampun kepada Allah atasku dan untukmu.” Begitulah Syuraih menuturkan pernik kehidupan keluarganya kepada Sya’bi, sahabatnya.
***********
kita menemukan kisah inspiratif dari sepotong kenangan Syuraih Al-Qadhi dengan istrinya. Kehidupan suami istri adalah persyarikatan antara dua orang yang sebelumnya asing. Tidak pernah saling mengenal. Atau, kalau pun ada pengenalan, maka bisa dipastikan ia tiada utuh. Selalu saja ada bilik kosong yang belum kalian masuki dari kedirian kekasih kalian. Selalu saja ada lembar – lembar yang belum kalian baca tentang dirinya.
Akhirnya, kalian menemukan kenyataan bahwa ada pekerjaan yang tidak pernah berhenti dalam pernikahan. Pekerjaan itu adalah mengenali kekasih kalian secara utuh. Akan tetapi, bukankah pada saat menjelang pernikahan, biasanya telah dilangsungkan proses ta’aruf (perkenalan) ? memang, kadangkala demikian. Hanya saja proses ta’aruf yang terjadi sebelum menikah biasanya dilakukan relative singkat. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya gambaran tentang pasangan hidup yang lebih dipengaruhi oleh harapan ideal kalian. Informasi yang dihimpun dari banyak pihak terkait dengan calon istri kalian, lebih banyak berkisar pada kebiasaan2 publiknya. Sementara itu, karakter dasar kepribadiannya belum sepenuhnya terungkap.
Proses ta’aruf sebelum pernikahan jelas sangat berbeda dengan proses ta’aruf setelah akad dilangsungkan. Yang pertama lebih banyak melihat ciri ciri yang menetramkan dan memantapkan pilihan. Belum ada orientasi yang lebih besar selain itu. Saat itu masih banyak pilihan untuk menentukan kehendak.
Sementara itu , ta’aruf setelah akad lebih berorientasi untuk memberikan perawatan terhadap cinta. Seseorang telah berhadapan dengan kenyataan. Ia tidak lagi dbuai oleh harapan yang membumbung.
Kekasih kalian adalah sebuah misteri yang harus dikuak. Cinta selalu menghajatkan pekerjaan kontinum, merawat dan menumbuhkan. Sebelum melakukan semua pekerjaan itu, ada satu proyek yang mendahuluinya, yaitu mengenali secara utuh pasangan kalian. Itulah sebabnya ta’aruf dalam pengertiannya yang luas dan tidak formal merupakan pekerjaan tiada henti. Begitulah yang terjadi dalam diri Rasulullah. Ketika beliau mendapati Aisyah sedang marah dan membanting piring, Rasulullah hanya berujar, “ ibumu sedang marah.”
Pengenalan yang utuh akan mendorong kalian untuk memberikan penerimaan yang utuh pula. Bahkan, lebih dari itu, pengenalan terhadap kekasih kalian pada dasarnya merupakan upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi dirinya secara tepat. Setiap penggalan waktu yang dilalui bersama antara suami istri adalah proses panjang untuk saling ta’aruf. Ta’aruf yang berorientasi untuk memelihara cinta. Saat itu kalian tidak lagi memiliki pilihan kecuali mempertahankan cinta bagaimana pun keadaan kekasih kalian. Daya tahan kebersamaan itu akan semakin terjaga ketika kalian tiada sekedar menyesali kekurangan kekasih kalian, tetapi berusaha dengan sabar dan penuh kasih sayang untuk menumbuhkannya.
Disinilah kalian dapat menangkap semanga Ibnu Hajar Atsqolani ketika harus berhadapan dengan istrinya Uns Binti Abdul Karim. Wanita itu biasa saja, tapi Ibnu Hajar mampu menangkap potensi besarnya. Sang suami mengetahui bahwa istrinya sangat menyukai ilmu. Pengetahuan tentang istrinya itulah yang memberikan dorongan bagi Ibnu Hajar untuk mengajari istrinya ilmu hadits, sang istri akhirnya berkembang menguasai pelajaran itu.
kalian dapat menggunakan langkah pengamatan untuk mengenali tabiat dan kebiasaannya. kalian bisa menangkap obsesi dan harapannya melalui pikiran pikiran yang terlontarkan kepada kalian. kalian semestinya sanggup mengetahui sesuatu yang ia benci dan senangi dari diri kalian, melalui respon yang diberikan. Atau, kalian bisa membuka gerbang keterbukaan sebagaimana istri Syuraih Al-Qadhi dengan bertanya secara langsung.
Ta’aruf pasca menikah tidak sekedar mengenali diri istri kalian, tetapi memungkinkan untuk mengenali keluarganya, sahabat sahabatnya dan juga lingkungan yang membentuknya. Diatas hamparan cinta Illahi, kita ingin bermesraan sampai lama. Melampui batas batas usia. Menerabas semak semak penghalang. Dan , diusia pernikahan yang semakin senja , kita ingin melukis cakrawala sambil bercerita tentang sampan nelayan yang kita tumpangi, sanggup menembusi gelombang kehidupan. Bahkan, hamparan itu terus tergelar, membentang hingga negeri akherat. Disana kita masih melanjutkan cerita itu bersama kekasih kita. Semoga. Amin
***************************
Bandung, In Memoriam
ku coba tulis kembali kenangan setahun yang lalu
Biar tidak pudar ditelan waktu….
masih teringat jelas di benakku
Disaat pertanyaan itu ku ajukan padamu wahai mujahidku…
“mas, tolong kasih tau adek, apa saja yang mas senangi dan apa saja yang tidak mas senangi. Adek tau, diluar sana banyak muslimah yang lebih pantas mendampingi mas daripada adek. Tapi Allah telah menakdirkan ikatan ini, Bantu adek ya cinta tuk menjadi istri tercantik di hati mu ya habiballah…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar