Kamis, Agustus 21, 2008

KETIKA HATI HARUS BERBAGI

Ketika hati harus berbagi

Saudariku ada yang mesti kita persiapkan , hati yang menerima, jiwa yang rela dan keikhlasan tuk berjuang bersama-sama dijalan Allah. Siapkah engkau saudariku ?

Islam adalah ajaran yang diturunkan olehDzat yang menciptakan langit dan bumi dengan teliti, tanpa ada celah dan cacat, bahkan tiada keretakan sedikitpun padanya. Maka Islam adalah ajaran yang sempurna, tiada kekurangan , kebatilan , bahkan tiada keraguan. Allah berfirman : “

“ Yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang mahabijaksana lagi maha terpuji.” (QS. Fishilat ; 42).

Islam adalah aturan yang berasal dari Dzat yang maha cermat, hingga tidak satupun ciptaan-Nya yang sia – sia , maka orang – orang cerdas yang mau menggunakan akal dan nuraninya pasti mengatakan , “ Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia, Maha suci Engkau , Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (ali Imran ; 191)

Sesungguhnya segala apa yang diturunkan Allah adalah li maslahah al ‘ibad yaitu untuk kemaslahatan / kepentingan hamba-hambaNya, sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui maslahat-maslahat hamba-Nya. Allah tidak menurunkan syariat agama, melainkan adalah Rahmat bagi umat, baik manusia mengetahui hikmahnya atau tidak, walaupun tanpa padanya sesuatu yang tidak disukai jiwa.

Malangnya pada zaman ini wajah serangan terhadap Islam dan peraturannya bertopengkan agama untuk menghancurkan agama. Seperti halnya masalah TA’ADDUD (POLIGAMI).

Allah berfirman, “ ….. Maka bisa jadi kamu membenci sesuatu dan allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa;19).

“ ….. Dan bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia adalah baik untukmu, Bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqarah ; 216).

Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Ya …… Poligami …. Itulah sebuah fenomena pernikahan yang sangat dilematis di kalangan kaum Hawa. Namun Kaum Adam pun juga bagian dari unek – unek persoalan ini, bahkan menjadi pemeran utamanya.

Dalam berbagai kasus pernikahan, poligami menjadi “ potret “ tersendiri yang sulit diselesaikan secara obyektif. Bagi sebagian suami menganggapnya bagian dari “ nyunnah” tapi bagi sebagian para istri malah meresponnya sebagai “ nyunnah” yang kebablasan.

Emang poligami itu seringkali menjadi momok bagi kaum muslimah. Menjadi suatu ketakutan yang sangat. Itu semua terjadi karena pemahaman mereka tentang poligami yang terlalu minim dalam hal ini Pemahaman yang keliru terhadap teks dalil, atau salah paham terhadap aturan. , karena besarnya egoisme mereka akan hal kecintaan yang berlebihan terhadap suami melebihi kecintaan mereka kepada Allah dan juga karena Hati yang masih sakit , hingga seperti orang yang mengingkari sinar matahari, karena sakit mata, atau orang yang menganggap air segar itu pahit karena lidahnya sedang sakit atau juga karena pengaruh lingkungan yang menghadapkan mereka pada akibat dari poligami itu sendiri Mereka sering melihat praktek poligami yang menyimpang. Dan praktek yang menyimpang itulah yang menimbulkan trauma psikis yang dalam pada diri mereka. Padahal kalau kita sedikit saja membuka mata dan hati bahwa tidak semua praktek poligami itu menyimpang, insya Allah kita kaum akan tau manfaat poligami itu sendiri.

Akan tetapi untuk para suami, juga jangan selalu berdalih bahwa ini adalah merupakan syariat yang diperbolehkan Allah. Karena berpoligami bukanlah semudah membalikan telapak tangan. Ada tugas yang bertambah berat disana, ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Mungkin kalau ditanya tentang kesanggupan mereka untuk berpoligami pada semua hamba Allah yang bernama kaum Adam maka jawaban mereka mayoritas akan berkata “ kami sanggup “. Akan tetapi perlu dipertanyakan kesanggupan seperti apa yang mereka maksudkan ? setidaknya para suami yang hendak berpoligami juga harus mempertimbangkan faktor psikologis istri, anak mereka , keluarga mereka. Agar tidak memberi dampak negatif akan praktek poligami itu sendiri. Kesiapan dari segala sisi kehidupan harus dipertimbangkan karena poligami bukan untuk menimbulkan permasalahan baru akan tetapi mengatasi dan menyelesaikan masalah. Pihak suami haruslah terlebih dahulu memantapkan dan menguatkan hati istri akan kesiapan mereka untuk berpoligami. Bekali mereka dengan ilmu , pemahaman dan image yang benar akan poligami itu. Dan tanamkan dihati mereka akan kecintaan kepada Allah melebihi kecintaan mereka terhadap suami – suami mereka juga terhadap anak – anak dan segala kekayaan dunia.

Seperti yang dikatakan oleh Dr. yusuf Al Qaradawi dalam bukunya Markaz al-Mar’ah fi al-hayat al islamiyah “ Sesuatu yang amat menyedihkan apabila daripada penyeru – penyeru kepada Sistem barat yang ada ditanah air arab dan umat Islam mengambil kesempatan apa yang berlaku pada sebagian muslimin yang menyeleweng , lalu mereka ini bangkit menyuarakan agar ditutup pintu poligami sama sekali. Mereka ini pagi dan petangnya hanya membicarakan mengenai keburukan poligami. Padahal pada masa yang sama mereka mendiamkan diri seperti diamnya orang didalam kubur mengenai keburukan Zina, yang dengan sedihnya diharuskan oleh sistem perundangan manusia yang menghukum negara – negara umat Islam hari ini.”

Inilah yang berlaku pada hari ini, lelaki yang mempunyai istri memangsa wanita yang bersedia dimangsa dirinya. Yang keburukannya akan menimpa istrinya yang sah dan keluarga. Begitu pula perselingkuhan & perzinahan yang semakin meluas yang dicerminkan oleh masyarakat, disamping adanya media massa yang bersedia menjadikan kisah – kisah tersebut sebagai bahan masukan yang menguntungkan. Malangnya golongan ini hanya diam, tiada isu yang hendak dimainkan mereka. Namun jika mereka melihat adanya peluang yang memberikan mereka kesempatan untuk memukul agama dengan senjata yang meracun aqidah maka mereka jadikan perantara yang dapat membantu mereka menanamkan keraguan golongan awam yang tidak paham terhadap Islam.

Suatu hal yang wajar bahkan sangat wajar bila ada satu dua masalah pada orang yang menjalani poligami, tidak bisa dikatakan bahwa poligami itu membawa kerusakan. Kita tidak bisa hanya melihat pada pelaku poligami yang tidak adil. Sedangkan disisi lain banyak para pelaku poligami yang berjalan secara adil sesuai aturan Islam. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa berpoligami membawa keburukan kepada keluarga dan masyarakat adalah pendapat yang mengandung kekeliruan yang nyata, karena sesungguhnya syariat Islam tidak mungkin menghalalkan untuk manusia sesuatu yang memudharatkan mereka, sebagaimana tidak mungkin mengharamkan manusia sesuatu yang memberi manfaat kepada mereka. Sebagaimana tertuang dalam firman Allah dalam Surat Al-A’raf ; 157. “ (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung “

Permasalahan baik besar maupun kecil akan selalu ada, baik itu dalam pernikahan poligami maupun monogami. Tetapi tidaklah pada kesimpulan bahwa pernikahan monogami dan poligami itu tidak baik ! dan tidak sampai pada kesimpulan bahwa menikah itu tidak baik !

Sebaiknya persoalan poligami ini janganlah dibicarakan dengan nada emosi kewanitaan yang tidak terbimbing atau pandangan sekumpulan lelaki yang takutkan istri mereka. Hukum syariat memenuhi tuntutan akal yang waras dan logik yang kukuh sekalipun mungkin emosi membantahnya. Jika kita melihat kepada seorang dokter yang menyuntik seorang bayi dengan jarumnya sehingga menyebabkan bayi tersebut menangis, andaikan pikiran kita tidak dipenuhi pengetahuan tentang kebaikan tindakan dokter tersebut, kita tentu akan membantah dan menganggap dokter seorang yang dzalim, menganiaya bayi tersebut sehingga dia kesakitan dan menangis. Namun apabila pengetahuan kita cukup kita tidak lagi melihat pada tangisan bayi tetapi pada kebaikan yang akan diperolehnya. Demikian pula poligami.

Poligami dibolehkan dengan syarat adil, bukan karena sakit, atau mandul atau lain sebagainya. Ta’addud boleh dilakukan selama seorang laki-laki terpenuhi pada dirinya syarat adil yang dia mampui yaitu terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kawin lebih dari seorang.

"Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja." (an-Nisa': 3)

Dan bersabda Rasulullah s.a.w.:

"Barangsiapa mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring." (Riwayat Ahlulsunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak isteri, bukan semata-mata kecenderungan hati. Sebab kecenderungan hati termasuk suatu keadilan yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Allah memberikan maaf dalam hal tersebut. Seperti tersebut dalam firmanNya:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An-Nisa`: 129)

Sebagian besar kita menyimpulkan Ayat ini bahwa Islam pada dasarnya agama monogami". Saudariku yang semoga dirahmati Allah beginilah apabila menafsirkan ayat dengan penafsiran sendiri, tanpa mau melihat bagaimana para ulama tafsir ketika menafsirkan ayat-ayat Allah. Ayat ini justru menunjukan disyari'atkannya poligami. Mari saudariku kita simak para ahli tafsir ketika mereka menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)

Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, "Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian". [Lihat Jami' Al-Bayan (9/284)]

Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa'diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), "Allah -Ta'ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta'ala- memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta'ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib),

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

"Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung". (QS. An-Nisa`: 129)

Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 207)]

Lebih gamblang, seorang mufassir ulung, Syaikh Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam Adhwa' Al-Bayan (1/375) ketika menafsirkan ayat di atas, "Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak mampu dilakukan adalah keadilan dalan cinta, dan kecenderungan secara tabi'at, karena hal itu bukan di bawah kemampaun manusia. Lain halnya dengan keadilan dalam hak-hak yang syar'iy, maka sesuangguhnya itu mampu dilakukan".

Jadi, dari komentar para ahli tafsir tadi, tidak ada di antara mereka yang berdalil dengan ayat itu untuk menolak poligami. Lantas kenapa kita tak mau menoleh ucapan para ulama' tafsir? Jawabnya, karena tafsiran mereka tidak tunduk kepada hawa nafsu kita

Oleh karena itu pula setelah Rasulullah membagi atau menggilir dan melaksanakan keadilannya, kemudian beliau berdoa: (disebutkan dalam Hadist daripada Aisyah ra. bahwa Nabi Saw membagikan hak diantara istri Rasul dengan adil. Rasulullah bersabda : "Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan." (Riwayat Ashabussunan).

Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu kecenderungan kepada salah satu isterinya. Nabi sendiri kalau hendak bepergian, ia mengadakan undian. Siapa mendapat bagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi. Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya persetujuan oleh semuanya

Sebenarnya membicarakan tentang keadilan mutlak yang tidak mungkin dapat diberikan oleh manusia. Keadilan dalam aspek perasaan kasih sayang yang ada didalam hati. Ini semua bukan dalam batas kemampuan manusia. Sehingga manusia tidak mampu menjadikan kadar kasih sayangnya terhadap anak-anaknya sama, demikian jugalah terhadap istri-istrinya. Namun apa yang dituntut adalah agar adil dalam persoalan akhlak pergaulan dan sikap, persoalan kebendaan hendaklah dalam timbangan keadilan dalam kata lain sanggup untuk mewujudkan keadilan, yaitu menyamakan antara dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, mu’amalah yang baik bagi setiap istri dan giliran waktu serta apa yang telah diwajibkan Allah untuknya karena itu dalam batas kemampuan manusia. Tidak boleh perasaan cinta didalam hati membawa kepada ketidakadilan dalam tindakan. Seorang istri tidak berhak melarang suaminya dari suatu hak yang telah dibolehkan Allah untuknya, yaitu ta’addud “ Poligami”. Tidak ada hubungan antara cantik tidaknya seorang wanita, mandul atau suburnya, dan ta’at atau tidaknya kepada suami dengan ta’addud. Ta’addud dibolehkan dengan syarat adil, bukannya dengan sebab – sebab tersebut. Perlu digaris bawahi bahwasannya Allah mensyariatkan ta’addud untuk suatu hikmah yang agung. seperti, mengentaskan masalah bertambahnya jumlah yang terlambat menikah, menjaga kesucian, mengayomi janda – janda dari wanita muslimah dan lain sebagainya.

Ta’addud disyariatkan untuk kemaslahatan yang besar. Agama tidak datang untuk mengikuti hawa nafsu wanita dan tidak pula hawa nafsu laki – laki. Sesungguhnya Islam datang adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Perlu diketahui bahwasannya hukum asal dalam pernikahan adalah ta’addud “ Poligami “ dengan syarat adil, dan pengecualian satu (monogami) adalah ketika takut tidak bisa berlaku adil berdasarkan firman Allah :

“ ….. Maka nikahilah apa yang baik bagimu dari wanita ; dua atau tiga atau empat, maka jika kamu takut tidak (bisa) berlaku adil, maka nikahilah satu ….. (An-Nisa ; 3).

Dalam Ayat ini Allah memulai dengan ta’addud dan ini adalah hukum asal, kemudian Allah kecualikan menikah dengan satu (monogami) apabila dikhawatirkan tidak mampu mewujudkan keadilan. Sehubungan dengan itu, berdasarkan ayat ini Allah memerintahkan kaum laki – laki untuk berta’addud “ Poligami “ dan kalimat “ maka nikahilah “ merupakan perintah dari Allah Swt. Akan tetapi, dikaitkannya dengan syarat adil sebagaimana firman-Nya : “ Maka jika kamu takut tidak (bisa) berlaku adil , maka nikahilah satu.” Maksudnya . apabila tidak terpenuhi syarat adil , maka cukup dengan satu istri lebih utama dan lebih baik. Saudariku, hal ini berbeda dengan pemahaman keliru yang selama ini tertanam dipikiran kebanyakan manusia, yaitu bahwasannya yang asal dalam menikah adalah cukup satu istri, sedangkan pengecualian dalam ta’addud dan syarat ta’addud menurut pandangan mereka mempunyai sebab – sebab lain selain adil, seperti, penyakit istri, kemandulannya atau yang semisalnya. Tidak diragukan lagi bahwasannya pemahaman yang keliru ini bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul Saw. Sesungguhnya para ulama telah membuat kaedah, "Barometer dalam menafsirkan ayat dilihat pada keumuman lafazhnya, bukan pada kekhususan sebab turunnya ayat tertentu" seperti ayat diatas baiklah saya kutipkan lengkapnya :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (QS. An-Nisa`: 3)

Banyak diantara kita yang menyatakan bahwa , "Ayat tersebut turun setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda, atau anak yatim, jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka, dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional".

Saudariku yang menjadi pembahasan adalah bahwa ayat ini bersifat kondisional, padahal seandainya ayat ini bersifat kondisional, justru ayat ini sangat memungkinkan untuk diamalkan pada zaman sekarang, karena melihat perbandingan jumlah wanita jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, poligami di saat sekarang ini mestinya lebih disemarakkan! Jadi, dilihat cakupan dan keumuman ayat di atas dan lainnya, maka mencakup semua lelaki yang memiliki kemampuan lahiriah.

Saudariku , Islam mengizinkan seorang lelaki untuk berpoligami disertai dengan peraturan dan disiplin yang mesti dipatuhi. Jika disiplin itu tidak dipatuhi hanya diijinkan satu. Begitu pula yang monogami juga ada disiplin dan peraturan yang mesti diikuti. Persoalan keadilan untuk istri bukan saja bagi yang berpoligami yang bermonogami juga mesti adil terhadap istrinya yang seorang tersebut, cuma konteks pengendaliannya saja yang berbeda.

Islam tidak memaksa lelaki berpoligami, tetapi mengizinkannya sebagai keharusan yang dapat menyelesaikan banyak masalah. Namun pemikiran barat telah menghantui sebagian penentang poligami ini. Apabila ada ketidakadilan yang dilakukan oleh sebagian pelaku poligami maka sistem itu disalahkan. Adalah tidak baik untuk mereka ini mengikuti jejak langkah barat suatu hari nanti mengizinkan hubungan tanpa nikah atas alasan perkawinan mengekang wanita dan mendzalimi mereka. Bila mereka melihat ada suami yang tidak adil maka perkawinan akan dianggap menganiaya wanita dan patut dicegah.

Sesungguhnya Islam bisa diumpamakan sebuah toko yang menyediakan berbagai jenis obat untuk semua jenis penyakit. Jangan karena ada obat yang dijual itu tidak sesuai dengan penyakit kita maka kita menganggap obat tersebut mesti dihapuskan. Poligami adalah salah satu obat bagi penyakit yang sesuai dengannya. Menghalangi zina dan membantu wanita. Bagi yang tidak memerlukan obat ini dia tidak disuruh meminumnya.

Untuk para muslimat Perlu kita ketahui bahwa poligami bisa dijalankan dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasa sangat baik untuk pendidikan hati kita. Kita akan tahu bahwa kita belum sabar, maka kita akan belajar untuk bersabar. Kita bisa tau bahwa dihati kita ada hasad (cemburu) dan dengki lalu kita belajar untuk tidak hasad dan dengki. Kita bisa tau bahwa selama ini kita lebih mengedepankan kecintaan kepada suami dari kecintaan kita kepada Allah lalu kita belajar untuk lebih mencintai Allah.

Begitu banyak kaum muslimat yang takutkan akan poligami. Mereka menggunakan salah satu Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim tentang pelarangan Rasulullah atas niat Ali bin Ali Thalib untuk memadu putri beliau Fatimah dengan putrinya Abu Jahal. Hadist tersebut adalah “ Jika Ali menikahi putri abu Jahal, hendaklah ia menalak putriku. Kemudian Ali tidak jadi memadu Fatimah. Sesungguhnya mereka ini hanyalah mengambil sebagian hadist dan menyembunyikan bagian yang lain. Sesungguhnya penyebab Rasulullah melarang Ali menikahi putri Abu Jahal adalah ketika kedatangan Fathimah Ra kepada Nabi Saw dan berkata : “ Sesungguhnya Quraisy mengatakan bahwasannya engkau tidak cemburu terhadap putri – putrimu. “ sehubungan dengan itu, Rasulullah Saw berbicara dihadapan manusia, “ Sesungguhnya keluarga bani Hasyim bin Al-Mughiroh minta izin kepadaku untuk menikahi putri mereka dengan Ali, maka aku tidak mengizinkannya, kecuali Ali menalak putriku. Ketahuilah! Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Akan tetapi, demi Allah tidak akan berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah dibawah satu atap. Sesungguhnya aku khawatir mereka akan memfitnah putriku. Sesungguhnya fathimah adalah bagian dariku. Meragukanku apa yang meragukannya, dan menyakitiku apa yang menyakitinya.”

Intinya disini bahwa Rasulullah Saw melarang Ali menikah dan meminta darinya untuk tidak menyatukan antara Putri Nabi Saw dan putri Musuh Allah yang bernama Abu jahal dibawah satu atap. Rasulullah tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal yaitu Poligami. Hal ini berdasarkan dalil perkataan beliau : “ Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw mengharamkan itu karena Allah telah berfirman , “ ….. Maka nikahilah apa yang baik bagimu dari wanita – wanita, dua, atau tiga, atau empat …… (An-Nisa; 3). Selain itu, Syaikh Al-Adawiy dalam Fiqh Ta'addud Az-Zaujat (126) berkata, "Di antara kekhususan Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)". Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi'ah berkata, "Dulu Ali memiliki dua istri". [HR. Ahmad dalam Fadho'il Ash-Shohabah (no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-

Di antara dalil poligami, Seorang tabi'in, Sa'id bin Jubair, "Ibnu Abbbas berkata kepadaku: "Apakah engkau telah menikah ?" Aku menjawab " Belum". Ibnu Abbas berkata, "Maka menikahlah, karena sebaik baik manusia pada umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya". [HR. Al-Bukhariydalam Shohih-nya).

Satu lagi dalil poligami -namun sebenarnya masih banyak-, Anas bin Malik -radhiyallahu 'anhu- berkata, "Termasuk sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setellah istri sebelumnya janda maka sang suami pun tinggal di rumah istri yang perawan ini selama tujuh hari maka sang suami tinggal dirumah istri yang janda selama tiga hari kemudian dia bagi". [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih]

Seorang ulama' Syafi'iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam Fatul Bari (9/10) berkata, "Dalam hadits ini, ada anjuran untuk menikah dan meninggalkan hidup membujang".

Dalam hal ini Kaum muslimat begitu banyak mengikuti hawa nafsunya “ rasa khawatir mereka akan cinta suami terbagi “? Padahal hal itu bukanlah merupakan suatu ketakutan yang mendasar, ketakutan itu hanyalah hembusan dan hasutan dari setan. Kalau ditanya apakah cinta suami akan terbagi ? maka jawabannya adalah tidak ; jika antara suami istri punya cita – cita yang sama yaitu mencintai Allah. Perlu kita sadari , karena manusia sudah tidak menganggap Tuhan segalanya, maka bila berumahtangga dia menganggap suami adalah segala-galanya. Padahal, kalau kita membesarkan cinta pada Allah, maka Allah sendirilah yang akan membagi kebahagiaan itu. Ingatlah saudariku, segala apa yang ada pada diri kita adalah milik Allah. Suami, anak, harta benda bahkan diri kita sendiri adalah milik Allah. Kita sendiri tidak mempunyai hak kepemilikan atas semuanya. Suatu saat kelak titipan ini akan diambil oleh sang Punya yaitu Allah. Untuk itu ukhti, mari mulai sekarang kita mempersiapkan diri dalam menghadapi perpisahan dan kehilangan atas segala apa yang dititipkan Allah pada kita. Cukuplah Allah sebagai kekuatan kita dalam menghadapi segala hal yang mungkin dapat memalingkan hati kita dari membesarkan cinta kita pada Allah. Yakinlah saudariku, bahwa Tiada sesuatupun yang hilang sia-sia disisi Allah, Allah memelihara semuanya itu disisi-NYA sebagaimana Dia memelihara barang titipan bagi pemiliknya. Dia pasti akan menyerahkan kembali kepada pemiliknya kelak pada hari akhir.

Sesungguhnya saudariku, seorang wanita muslimah yang hidup didalam rumah sederhana, menyembah Tuhannya, mengerjakan sholat lima waktunya, taat pada suaminya, dan puasa sebulannya, lebih berbahagia daripada wanita yang tinggal dalam istana menjulang tinggi dan bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan diantara para abdi dalem dan pelayannya. Sesungguhnya wanita beriman yang hidup dikemah dengan makan roti gandum , minum dari kendi, disertai dengan mush-haf dan tasbihnya lebih bahagia hidupnya daripada wanita yang hidup digedung tinggi dalam kamar yang mewah, sedang ia tidak mengenal Tuhannya , tidak pernah mengingat-NYA dan tidak pernah mengikuti petunjuk-NYA.

Ingatlah ukhti mukminah akan hadist :

“ idzaa sholatil mar’atu khomsaha wa shomat syahroha, wa atho’at ba’laha wa hafizhat farjaha, dakholatil jannah min ayyi abwaabin sya’at.” Apabila seorang wanita sholat lima waktu (dengan benar) , dan shaum dibulan ramadhannya, dan mentaati suaminya serta menjaga kehormatannya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan “ (al-hadist)

“ Ayyuma imro’atin maatat wa zaujuha ‘anha roodin dakholatil jannah” Wanita mana saja yang meninggal sedang suaminya ridho atas kepergiannya ia akan masuk surga (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)

Janganlah perturutkan ego mu saudariku, karena itu akan menghancurkanmu. Untuk itu saudariku, pahamilah makna kebahagiaan dengan pengertian yang sebenarnya bahwa ia bukanlah sebagaimana pengertian sempit lagi timpang seperti yang digambarkan oleh sebagian besar kalangan muslimah. Mereka mengira bahwa kebahagiaan terletak pada uang, furniture, pakaian, makanan, minuman, kendaraan, bukan itu ukhti. Kebahagiaan yang hakiki terletak pada ketenangan jiwa, kegembiraan ruhani, kelapangan dada, tegaknya akhlaq, bersihnya sepak terjang disertai sikap menerima apa adanya dan tidak berlebihan.

Marilah saudariku kita tidak memandang poligami dengan pandangan panik apalagi mencurigai. Tetapi untuk para suami juga tidak memandang dengan kacamata buram yang akhirnya menjadikan kita tidak kritis dan cenderung memudah-mudahkan.

Ingatlah saudariku, Dalam menilai sesuatu karena zaman ini sudah rusak, maka nilai- nilai manusia / moral juga sudah sangat jauh dari kehendak Allah. Contoh, para wanita mengatakan dirinya merasa dihina dengan poligami, padahal itu boleh menurut islam, tapi wanita diminta buka aurat, lalu menjadi tontonan tak satupun menganggap dirinya merasa terhina. Padahal itu keadaan yang sangat menghinakan. Wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman.

Banyak wanita – wanita yang berdalih kita ini wanita normal ! wanita normal itu seperti apa ukhti ? apakah Istri-istri Rasulullah bukan wanita normal ? manusia normal adalah manusia yang tahu dirinya hamba dan Allah sebagai Tuhannya. Tentu dia akan sangat mencintai TuhanNya dan dirinya akan merasa malu dengan Allah. Malu , mengapa “ orang jahat “ seperti kita tapi masih diberi oleh Allah rasa kebaikan – kebaikan. Kalau kita saja yang “ Masih Jahat “ dan masih diberi banyak kebaikan oleh Allah, bagaimana pula kehebatan keluarga Rasul ?

Poligami itu indah dan memang perlu, perlu bagi wanita untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah.

Sesungguhnya Islam menanamkan persaudaraan dan bibit-bibit cinta antara kaum muslimin. Telah bersabda Rasulullah saw yang artinya : “ Tidak akan sempurna keimanan salah seorang dari kamu sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.”

Dan Allah berfirman : “ …… Dan mereka mendahulukan (saudara-saudara mereka), walaupun mereka membutuhkan…….” (Al-Hasyr ; 9)

Tidak diragukan lagi bahwasannya seorang istri yang memikirkan solusi untuk problema – problema saudari – saudarinya yang terlambat menikah, yang ditalak, dan ditinggal mati suaminya sehingga mereka bisa bernaung dalam sebuah rumah tangga, tentulah wanita tersebut istri yang mukminah. Sosok wanita yang mencintai untuk saudarinya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, sebagaimana terdapat dalam hadist diatas. Tidak diragukan lagi bahwa wanita yang mengekang hawa nafsunya, bersabar, dan melawan jiwanya serta ridha terhadap wanita wanita lain menjadi istri suaminya diatas syariat Allah dan Rasul-Nya adalah lebih baik daripada wanita yang membuat suaminya mencari jalan-jalan menjerumuskannya kepada yang haram. Seolah – olah ia mengharamkan bagi suaminya apa yang dihalalkan untuknya, dan menghalalkan untuknya sesuatu yang haram karena kemarahan dan penentangannya terhadap keinginan suaminya untuk menikah dengan istri kedua. Sebaliknya, istri yang memiliki sifat itsar’ memdahulukan kepentingan orang lain, mereka mendahulukan atas diri mereka sendiri, walaupun mereka membutuhkannya.

Sekarang marilah kita kembalikan semua kepada Allah. Dialah penyelesai segala masalah. Sekarang ini yang jadi masalah sebenarnya bukanlah poligami. Sama halnya sekarang banyak orang sholat tapi masih korupsi. Lantas apakah dengan begitu kita akan memerangi shalat ? banyak masalah lain yang kita perlu selesaikan.

Yang terpenting sekarang ukhti adalah terima dulu bahwa poligami adalah syariat masalah dilakukan atau tidak itu sangat tergantung pada kemampuan masing – masing.

Terakhir, diri yang kurang ilmu ini menasihatkan kepada para muslimat agar bersiap untuk dimadu dan berlapang dada untuk menerima anugerah poligami ini, serta tidak menentang syari'at poligami, karena ini adalah kekufuran. Samahatusy Syaikh Abdul Azizi bin Baz-rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang membenci sedikitpun dari sesuatu yang dibawa Rasulullah -Shollallahu 'alaihi wasallam-, meskipun dia mengamalkannya, maka sungguh dia telah kafir. Allah -Ta'ala- berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka". (QS. Muhammad: 9)[Lihat Nawaqid Al-Islam]

Tapi para suami yang akan melaksanakannya , persiapkanlah diri dan keluarga dengan bekal yang cukup agar syareat Allah ini tidak menjadi boomerang terhadap syareat itu sendiri.

Yang mengamalkannya marilah kita hormati tapi yang belum kita hormati juga , jangan masalah ini membuat kita saling mencemooh satu sama lain, saling menyakiti sesama dengan ucapan yang tidak bermanfaat.

Mari saat ini kita tetap istiqomah saudariku. Dimana orang yang istiqomah terhadap Allah memiliki 4 sifat gunung yaitu : tidak lebur oleh terik mentari, tidak beku oleh cuaca dingin, tidak goyah oleh hempasan angin dan tidak bergeser oleh arus air. Siapkah ukhti ?

Bandung, Mei 2007

Ainun Mardiyah

sebuah tulisan dari seorang muslimah yang biasa bahkan terlalu biasa, yang memiliki cita cita yang sederhana. tulisan ini kupersembahkan buat sodari sodariku, mari kita belajar untuk lebih mengedepankan cinta kita kepada Allah. karena tugas kita bukanlah saling mempersoalkan masalah yang dihadapi saudara kita apalagi itu merupakan syariat. tapi tugas kita adalah memegang amanah yang dititipkan kepada kita yaitu mendidik dan menjadikan anak2 kita calon pemuda pemudi dimasa depan pembela dienul islam dan menjadi api penerang bagi keabadian dakwah ini dimasa datang.

Sumber – sumber :

1. Istriku MenikahkuAs Sayyid bin Abdul Aziz As sa’dani

2. Jadilah Wanita yang paling bahagia ; DR. Áidh Bin Ábdullah Al-Qarni

3. Majalah As-sunnah

4. Zaujaat la ‘ Asyiqaat (ta’addud Syar’ie Dloruroh ‘Ashri) hamdi Syafiq, Download

5. Tafsir Al-Maraghi , Ahmad Musththafa Al-Maraghi, DArul Kutub Al-Ilmiyah, Bairut – Libanon, Cet. Pertama 1998 – 1418)

6. Madza Ya’ni intima’I Lid Da’wah, Muhammad Abduh, Darut Tauzi’ wan Nasyrul Islamiyah, Kairo , Cet Pertama Tahun 2004

7. Poligami : Solusi atau masalah ? , Khozin Abu Faqih, LC

8. Buku Halal Haram “ Yusuf Al-Qaradawi”, download

9. kumpulan hadist bukhari - muslim

Tidak ada komentar: